Di Palembang,
Sumatera Selatan terdapat pemukiman masyarakat yang masih memiliki garis keturunan bangsawan, kesultanan Palembang. Cikal bakal mereka diduga dari
bangsawan-bangsawan kerajaan Majapahit sehingga jumlah kata dalam bahasa
komunikasi memiliki kesamaan.
Elite
tradisional yang masih terdapat di Palembang membentuk masyarakat dengan
stratifikasi sosial yang didasarkan atas tingkat kebangsawannya, seperti Raden,
Mas Agus, Ki Agus, dan Kemas untuk bangsawan laki-laki. Sedangkan untuk gelar
kebangsawanan wanita yaitu, Raden Ayu, Mas Ayu, Nyi Ayu, dan Nyi Mas. Disamping
itu terdapat kelas rakyat jelata yang sering memakai sebutan Si.
Dalam
stratifikasi sosial, Raden sebagai bangsawan tertinggi dan sekaligus kelas
penguasa dalam menjalankan tugas sehari-hari dibantu oleh Mas Agus dan Mas Ayu.
Sedangkan Ki Agus sebagai penasehat kelas penguasa atau Rade dan Kemas sebagai
tentara atau bodyguard dengan persenjataan keris, pedang dan tobak. Untuk
kelompok rakyat jelata sebagai pekerja, pembantu, petani dan pedagang.
Pada zaman
Belalanda, golongan bangsawan yang bergelar Raden mendapat perhatian, dengan
hidup enak dan fasilitas tercukupi. Mereka mendapat tunjangan dari pemerintah,
dan kemudahan kerja, dan pendidikan. Oleh karena itu mereka tidak mau membaur
dengan masyarakat kelas bawah atau rakyat jelata. Namun demikian setelah
kemerdekaan Indonesia, yang bersamaan perubahan sosial mereka mulai mengelompok
di lokasi tertentu. Pusat pemukiman mereka terdapat di 19 ilir, 28 ilir yang
sering di sebut Depaten Lama atau Sakanak. Sedangkan pemukiman lain di daerah
24 ilir yang sering di sebut daerah Kebon Duku.
Kehidupan
mereka memiliki cirri-ciri yang berbeda dengan masyarakat yang hidup di
Palembang. Misal dalam bahasa, bahasa Palembang memiliki 2 tingkatan, bebaso
yaitu bahasa yang tercampur dengan jawa dan kedua bahasa sehari-hari atau
disebut baso sehari-hari oleh wong palembang dan masyarakat Palembang
dari Kesultanan Palembang sampai sekarang.
Bebaso dipergunakan oleh golongan atas
,yaitu para bangsawan atau orang-orang tua dan orang-orang yang dihormati.
Sedangkan baso sehari-hari yang di pergunakan oleh wong Palemabang yang
berasal dari bahasa melayu. Sejak zaman Kesultanan Palembang bahasa Melayu
dipergunakan oleh para pedagang yang datang dan pergi dari Bandar Palembang.
Bahasa Melayu itu kemudian bercampur dengan bahasa jawa diperkaya oleh bahasa
Sangsekerta, Cina dan Belanda. Kedua bahasa itu sering terdapat penggabungan
sehingga merupakan seni tersendiri wong Palembang untuk berbahasa dan
bercakap-cakap.
Kedua jenis
bahasa Palembang tidak memiliki aksara khusus dalam penulisannya. Oleh sebab
itu surat-surat resmi Kesultanan Palembang, kitab-kitab ilmu agama islam surat
menyurat lainnya ditulis dengan aksara arab tanpa baris dan dinamakan tulisan
arab guntul atau huruf Arab Gundul. Dalam surat resmi, aksara Jawa hanya
terdapat pada halaman akhir surat perjanjian, pesahabatan yang dibuat oleh
Sultan Abdurrahman pada abad XIX.
Di samping
itu pembacaan syair, hikayat, dan menyanyikan tembang Palemabang berupa tulisan
Melayu dan Aksara Arab akan tetapi pembacaannya memakai bahasa sehari-hari dan
juga diselingi dengan bebaso. Sedangkan tembang dan pantun dan teka-teki tidak
ada yang tertulis, hanya dihafalkan dan merupakan warisan turun-menurun.
SENI WONG PALEMBANG
Sejak zaman
Kesultanan Palembang, hasil budayanya telah memiliki seni yang cukup tinggi,
seperti seni ukir yang dikerjakan secara halus, teliti, rumit dan attistik.
Hasil budaya lainnya dapat dilihat pada seni tenun, dengan tenunan songket yang
masih dapat ditemui pada para pengrajin yang membuatnya. Seni tari dan sastra
mengalami perkembangan.
Di samping
itu terdapat seni gerak atau tari yang berkembang secara baik di Palembang. Namun
demikian seni tari ini memiliki banyak kesamaan antara satu dengan yang
lainnya. Seni gerak lainnya. Seni gerak lainnya kuntawu dalam gaya lama yang
sekarang lebih sering disebut pencak silat. Seni kuntawu ini adalah seni
sekaligus merangkap olah raga bela diri yang banyak dipengaruhi oleh oleh
unsure Cina dan budaya Islam.
Pada seni
suara terdapat seni membaca Al-qur’an berzanzi dan qasidah yang mengalami
perkembangan sejarah dengan masuknya agama Islam di Kesultanan Palembang.
Sedangkan seni musik dengan peralatan gendang ketipung gambus, biola, gitar dan
lain sebagainya.
Seni yang
lain yaitu seni pewayangan walaupun sudah mulai jarang kalau tidak mau
dikatakan hilang. Wayang kulit Palembang mempunyai kesamaan dengan wayang kulit
Jawa, baik dari seni ceritanya maupun jenis wayangnya. Pertunjukan wayang kulit
Palembang menggukan bahasa Palembang atau bebaso, tetapi sekarang susah sekali
dijumpai mungkin diakibatkan tidak adanya regenerasi.
0 komentar:
Posting Komentar