Agung Endro Nugroho, Profesor Termuda UGM




Di usia 36 tahun, Prof Agung Endro Nugroho, SSi, MSi, Apt telah meraih jabatan guru besar di Universitas Gadjah Mada. Pria kelahiran Surakarta, 15 Januari 1976, ini secara resmi menerima SK Pengangkatan Guru Besar pada 1 Oktober 2012 lalu dan menjadikannya sebagai guru besar termuda di UGM.

Agung, staf pengajar Fakultas Farmasi, resmi dikukuhkan sebagai guru besar UGM, Kamis (28/2/2013) di Balai Senat UGM. Agung menyampaikan pidato pengukuhan berjudul "Peran Farmakologi Molekuler dalam Perkembangan Penelitian Kefarmasian".

Dalam pidatonya, Agung mengungkapkan bahwa ilmu farmakologi saat ini mengalami perkembangan yang pesat dan telah mencapai level molekuler. Farmakologi tidak lagi hanya mengkaji efek obat, tetapi juga hingga mekanisme dan target aksi molekul obat dalam tubuh.

"Aksi obat dalam tubuh manusia melibatkan berbagai aksi yang kompleks pada level molekul," kata Agung.

Lebih lanjut, Agung mengatakan, penelitian farmakologi molekuler dan biomedik yang ada saat ini banyak mengarah pada identifikasi protein-protein regulator dan sistem signaling kompleks yang berperan dalam proses fisiologi normal atau kondisi patologis di beberapa sistem dalam tubuh.

"Penelitian farmokologi molekuler ini dapat menjelaskan urutan genom manusia dan menjadi dasar implementasi farmakologi molekuler dalam pengobatan," lanjut Agung.

Agung menyampaikan, di Indonesia, farmakologi molekuler telah digunakan sebagai strategi dalam penemuan obat herbal, yaitu melalui penelusuran fraksi aktif tanaman obat, salah satunya adalah awar-awar.

Ekstrak etanolik tanaman tersebut menunjukkan efek sitotoksik yang poten terhadap sel kanker payudara T47D. "Sayangnya, hingga saat ini, Indonesia belum mampu memproduksi obat-obatan herbal secara mandiri. Padahal, Indonesia merupakan negara yang memiliki biodiversitas tanaman terbesar di dunia yang dapat dimanfaatkan untuk bahan baku obat herbal. Ironisnya, justru 90 persen obat-obatan masih harus dipenuhi dengan impor dari negera lain," kata Agung.

Agung mengakui, memproduksi obat-obatan herbal secara mandiri sangatlah kompleks, membutuhkan serangkaian penelitian yang lama dan membutuhkan dana besar. "Semuanya membutuhkan dana yang besar, tetapi kalau masih harus terus mengimpor dalam jangka panjang tidak hanya menimbulkan ketergantungan, tetapi biayanya juga akan jauh lebih mahal," jelas Agung.

Agung mengungkapkan, saat ini, Fakultas Farmasi UGM telah mengembangkan sejumlah obat-obatan herbal yang akan segera diproduksi untuk masyarakat luas, di antaranya obat antihipertensi, obat untuk diabetes, dan obat antikanker.

"Pengembangan obat herbal sangat penting dilakukan. Selain minim efek samping, penggunaan obat juga lebih terkontrol dan aman. Sayangnya, sebagian besar dari kita belum menyadarinya," kata Agung.

0 komentar:

Posting Komentar